Enam minggu kemudian, ketika situasi setelah perang di Jakarta muncul di harian Sydney Morning Herald, dengan berita mengenai unjuk rasa di jalan-jalan di Indonesia, di Australia sendiri keadaan masih tidak menentu karena adanya pemogokan umum.
Dalam pemberitaan, yang paling menjadi sorotan adalah pemogokan oleh pelaut Indonesia untuk mengisi kapal-kapal Belanda yang akan berlayar untuk kepentingan VOC.
Masalah ini menjadi perdebatan sengit di Parlemen Australia. Yang menarik adalah bahwa Perdana Menteri Australia ketika itu Ben Chifley sangat mendukung sikap para pelaut Indonesia, hal yang berbeda dengan pendapat pemimpin oposisi Robert G.Menzies.
Ini tampaknya adalah usaha dari pemerintah Australia untuk tidak campur tangan, dengan jelas tidak mau bersikap proaktif dalam membantu Sekutu mereka semasa perang yaitu Belanda, untuk menguasai Indonesia lagi.
Pemberitaan Sydney Morning Herald mengenai Indonesia pada tanggal 24 September 1945
Pemberitaan Sydney Morning Herald mengenai Indonesia pada tanggal 24 September 1945
Foto: National Libary of Australia
Dan setelah berakhirnya Perang, deklarasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 dilakukan terburu-buru, karena ingin 'mengambil kesempatan'. Tidak disadari sepeunuhnya oleh Republik bahwa mereka tidak memiliki tentara sama sekali, tidak banyak mendapat pengakuan internasional.
Juga pemerintahan sementara yang dipimpin oleh Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta akan terlibat dalam pertempuran di kota, desa dan tempat lainnya, melawan pasukan Inggris dan kemudian pasukan Belanda selama empat tahun berikutnya.
Meskipun sudah dilakukan, pasukan militer Jepang tetap bertanggung jawab untuk menegakkan keamanan di Jawa dan bagian lain Indonesia, sampai pasukan Sekutu yang diperkirakan akan tiba awal Oktober 1945.
Tanggal 15 September, sekitar 200 pasukan Sekutu yang kebanyakan adalah tentara Inggris dan Belanda dikirim ke Jakarta, dan mereka tinggal di "Hotel des Indes", dan ditugaskan untuk mencari kamp tahanan perang milik Jepang dan melakukan proses pemulangan para tahanan perang tersebut.
Yang ikut dalam rombongan itu adalah wartawan Australia, C.C. Eager, yang kemudian menjadi orang (wartawan) asing pertama yang mewawancarai Soekarno. Eager menulis berita pertama mengenai situasi Batavia di Sydney Morning Herald tanggal 24 September 1945.
Dia menggambarkan situasi di sekitar Hotel des Indonesia, dan ketatanya keamanan yang dilakuka oleh pasukan militer Jepang.
Artikel C.C Eager menggambarkan besarnya dukungan akan kemerdekaan Indonesia, rakyat yang sangat membenci tentara Belanda, Jepang dan juga kemudian tentara Inggris, namun di sisi lain, sangat bersahabat terhadap Australia dan warga Australia. Tentara Australia mudah dikenali dari topi lebar yang mereka kenakan, yang dikenal dengan nama Digger. Tentara Australia sering diminta mengawal tentara Belanda yang keluar dari hotel.
Rakyat tampaknya bisa merasakan dukungan Australia bagi Indonesia dalam masa penjajahan Belanda.
C.C. Eager juga melaporkan bahwa tidak saja bahwa gerakan Republik Indonesia berharap untuk mencapai konstitusi yang sama dengan yang ada di Australia, namun di berbagai wilayah Batavia tertulis kutipan dari Konstitusi Amerika dan juga pidato dari Abraham Lincoln di Gettysburg.
Tanggal 25 September 1945, Herald menerbitkan artikel kedua berjudul "Rencana Indonesia Bagi Kebebasan - Pihak Nasionalis menuntut Kemerdekaan" dimana Dr Soekarno menyatakan bahwa 'kabinetnya tidak berencana melakukan tindak kekerasan, namun akan mendesak kepada PBB di bawah Piagam Atlantik mengenia hal rakyat Netherlands East Indies untuk membentuk pemerintahan sendiri.
Dia menyerukan kepada para pendukungnya, yang menurutnya terdiri dari 95 persen penduduk. "Kami berharap akan mendapatkan simpati dunia, dan memanfaatkan waktu yang ada."
Wartawan melaporkan bahwa di Batavia, personal militer Austrralia tidak khawatir dengan keselamatan mereka, meskipun ada demontrasi menentang Belanda. The Digger ini disambut dimana-mana dengan senyuman dan seruan 'Bagoes (Good) Australia."
Dalam wawancara dengan Dr Soekarno 24 September 1945, C.C Eagers melaporkan bahwa Dr Soekarno membentuk Kabinet 17, dan mengumandangkan Republik di Jawa tanggal 17 Agustus 1945. Dalam perjalanan ke kediaman Presiden, dia melihat beberapa tram yang bertuliskan Kemerdekaan adalah hak seluruh bangsa" dan 'Saudara-saudara Ingat Piagam Atlantik menjanjikan hak menentukan diri sendiri bagi seluruh bangsa."
Setelah melewati tentara Jepang yang menjaga barikade dan tempat-tempat penting, wartawan Australia ini bertemu dengan Menteri Luar Negeri, Subardjo, yang digambarkan sebagai seorang pria yang berperawakan kecil, dengan brewok tercukur rapi, yang berbicara dalam bahasa Inggris yang bagus.
Dia kemudian diperkenalkan kepada Dr Soekarno. Pemimpin Indonesia ini digambarkan sebagai serius, namun tampak sangat berwibawa. Soekarno berbicara mengenai latar belakang kehidupan, termasuk penahanannya di Flores dan Bengkulu (Bengkulen). Rumahnya yang bergaya Belanda tampak sederhana. Dr Soekarno berbicara mengenai program jangka panjang pemerintah untuk pembentukan pemerintah yang dipilih rakyat dan perlunya pendidikan bagi orang banyak.
Dia juga menyatakan ' tidak ada niat untuk menggunakan kekerasan guna mencapai tujuan bangsa, karena Indonesia tidak dalam posisi untuk melakukannya. (Indonesia tidak memiliki kemampuan menandingi kekuatan Sekutu)
Di hari yang sama, 25 September 1945, Parlemen Australia mengadakan debat mengenai masalah kemerdekaan Indonesia menyusul pelarangan pemuatan barang untuk kapal Belanda yang akan berlayar ke Indonesia. Di akhir debat tersebut, usulan yang diajukan pemimpin oposisi Menzies dikalahkan dengan perbandingan suara 37 melawan 17.
The Herald memberitakan di halaman depan keesokan harinya dengan judul "Masalah Kapal Belanda Dibicarakan." Mr Chifley akan mempertimbangkan kasus ini."
Laporan di Sydney Morning Herald mengenai peristiwa di Jakarta dan pelarangan kapal Belanda berdampak seperti yang diinginkan oleh Dr Soekarno, yaitu untuk mendapatkan simpati dunia mengenai perjuangan kemerdekaan Indonesia, dengan melaporkan kepada dunia mengenai perjuangan dan kehadiran Republik yang baru dibentuk tersebut.
Rasanya sulit dipercaya ketika itu bahwa keberadaan pemerintah sementara Indonesia tidak banyak diketahui oleh dunia internasional, sampai adanya pengakuan resmi bulan Desember 1949.
Yang juga lebih sulit dipercaya adalah bahwa negara kerajaan seperti Australia, yang masih menganut kebijakan White Australia, menunjukkan dukungan kepada Kemerdekaan Indonesia, dan bukannya kepada sekutunya semasa perang Belanda, yang bermaksud menguasai kembali Indonesia.
Catatan: Tanggal 7 September, PM Ben Chifley menerima permintaan resmi dari Perdana Menteri Indonesia yang menghendaki Australia menjadi wakil Indonesia dalam Perundingan Kemerdekaan yang dibentuk oleh Dewan Keamanan PBB. PM Chifley menerima permintaan tersebut.
Anthony Liem bersama Dubes Indonesia di Australia Nadjib Riphat Kesoema
Anthony Liem (tengah) bersama Dubes Indonesia di Australia Nadjib Riphat Kesoema dan Arthur Chang (di kursi roda) pemeran film Indonesia Calling yang dibuat di tahun 1946 dan meninggal bulan Januari 2016.
0 komentar:
Posting Komentar